Perkataan
filsafat pada asalnya mempunyai arti yang sederhana, sekedar pembedaan antara
sifat manusia dengan sifat yang dimiliki oleh Tuhan berkenaan dengan
kepandainnya. Manusia tidak dapat bersifat bijaksana, dia boleh menjadi
penggemar kebijaksanaan, sedangkan Tuhan sajalah yang bersifat bijaksana. Akan
tetapi lama-kelamaan perkataan itu digunakan untuk menunjukkan kepada satu
aktifitas manusia yang berkenaan dengan pemahaman terhadap dunia secara
kesuluruhan.
Filsafat
merupakan pengetahuan tentang sesuatu yang non empirik dan non eksprimental,
diperoleh manusia melalui usaha dengan pikirannya yang mendalam. Mengenai objek
materialnya tidak berbeda dengan ilmu pengetahuan, yakni mengenai apa saja.
Adapun yang berbeda adalah mengenai objek formalnya. Objek formal filsafat
mengenai sesuatu yang menyangkup sifat dasar, arti, nilai, dan hakikat dari
sesuatu. Jadi bukan sesuatu yang dapat dijangkau dengan indera dan percobaan.
Menjangkaunya hanya mungkin dengan pemikiran filosofis yaitu pemikiran yang
mendalam, logis dan rasional.
Sedangkan
agama adalah kebenaran yang bersumber dari wahyu Tuhan mengenai berbagai hal
kehidupan manusia dan lingkungannya. Jadi kebenaran agama bukan hasil usaha
manusia. Manusia tinggal menerima begitu saja sebagai paket dari Tuhan. Filsafat berdasarkan otoritas akal
murni secara bebas dalam penyelidikan terhadap kenyataan dan pengalaman terutama dikaitkan
dengan kehidupan manusia. Sedangkan agama mendasarkan pada otoritas wahyu.
Menurut
Prof. Nasrun SH., mengemukakan bahwa filsafat yang sejati haruslah berdasarkan
kepada agama. Malah filsafat yang sejati itu terkandung dalam agama. Apabila
filsafat tidak berdasarkan kepada agama dan filsafat hanya semata-mata
berdasarkan akal pikiran saja maka filsafat tersebut tidak akan memuat
kebenaran objektif, karena yang memberikan pandangan dan putusan adalah akal
pikiran. Sedangkan kesanggupan akal pikiran itu terbatas, sehingga filsafat
yang berdasarkan pada akal pikiran semata tidak akan sanggup memberi keputusan
bagi manusia, terutama dalam tingkat pemahamannya terhadap yang ghaib.
Antara
Filsafat dan Agama
Melalui
uraian di atas, kita bisa mengidentifikasi bahwa pada mulanya terdapat
perbedaan antara filsafat dan agama terutama dalam hal eksistensi keduanya,
yakni filsafat berusaha menemukan kebenaran dengan berdasarkan akal manusia
sedangkan agama adalah suatu kebenaran yang berdasarkan wahyu dari Tuhan.
Drs. H. Abu Ahmadi, dalam bukunya ”Filsafat Islam” menguraikan tentang perbedaan-perbedaan antara filsafat dan agama:
Drs. H. Abu Ahmadi, dalam bukunya ”Filsafat Islam” menguraikan tentang perbedaan-perbedaan antara filsafat dan agama:
1. Filsafat
berarti memikir, jadi yang penting yaitu ia dapat berpikir, sedangkan agama
berarti mengabdikan diri, jadi yang penting yaitu hidup secara beragama sesuai
dengan aturan- aturan agama itu.
2. Menurut
William Temple, filsafat adalah
menuntut pengetahuan untuk memaham, sedangkan agama menuntut pengetahuan untuk
beribadat yang terutama hubungan manusia dengan Tuhan.
3. C.S. Lewis
membedakan enjoyment dan contemplation, misalnya laki-laki mencintai perempuan.
Rasa cinta disebut enjoyment, sedangkan memikirkan rasa cintanya disebut contemplation, yaitu memikirkan
pikiran si pecinta tentang rasa cintanya itu. Sedangkan agama dapat dikiaskan
dengan enjoyment atau rasa cinta seseorang, rasa pengabdian (dedication) atau
contentment.
4. Filsafat
banyak berhubungan dengan pikiran yang dingin dan tenang, sedangkan agama
banyak berhubungan dengan hati.
5. Filsafat
dapat diumpamakan seperti air telaga yang tenang dan jernih dan dapat dilihat
dasarnya. Sedangkan agama dapat diumpamakan sebagai air sungai yang terjun dari
bendungan dengan gemuruhnya.
6. Seorang ahli
filsafat jika berhadapan dengan penganut aliran atau paham lain biasanya
bersikap lunak. Sedangkan agama, bagi pemeluk-pemeluknya akan mempertahankan
agamanya dengan habis-habisan, sebab mereka telah terikat dan mengabdikan diri.
7. Filsafat,
walaupun bersifat tenang dalam pekerjaanya, tetapi sering mengeruhkan pikiran
pemeluknya. Sedangkan agama, disamping memenuhi pemeluknya dengan semangat dan
perasaan pengabdian diri, tetapi juga mempunyai efek menenangkan jiwa
pemeluknya.
8. Ahli
filsafat ingin mencari kelemahan dalam tiap-tiap pendirian dan argumen walaupun
argumennya sendiri. Sedangkan dalam agama, filsafat sangatlah penting
peranannya dalam mempelajari agama.
Demikianlah
antara lain perbedaan-perbedaan antara filsafat dan agama. Perbedaan- perbedaan
tersebut bukan hanya berdasarkan atas kandungan dan objek filsafat dan agama saja, akan tetapi juga
membedakan antara karakter- karakter para filosof dan para agamawan. Perbedaan
karakter antara keduanya tentunya dikarenakan efek dari bidang masing-masing
yang mereka tekuni, sehingga kita bisa mengklasifikasi karakter mereka ke dalam
tiga bagian yaitu:
1. Memegang
teguh terhadap agama dan menolak filsafat.Ini adalah pendirian orang agama yang
tidak berfilsafat.
2. Memegangi
filsafat dan menolak agama.
Ini adalah pendirian orang yang berfilsafat dengan tidak mengindahkan kandungan- kandungan agama.
Ini adalah pendirian orang yang berfilsafat dengan tidak mengindahkan kandungan- kandungan agama.
3. Mengusahakan
pemaduan antara filsafat dan dengan agama menurut cara tertentu.
Inilah cara
yang ditempuh oleh seorang filosof yang beriman atau seorang filosof yang
seharusnya memperhatikan kandungan-kandungan agama. Dalam perbedaan-perbedaan antara
keduanya, setidaknya ada kesamaan-kesamaan, seperti yang dikatakan Prof. Nasrun SH.
Bahwa ”Filsafat yang sejati itu terkandung dalam agama.” Untuk menggali
kesamaan-kesamaan antara filsafat dan agama, penulis akan mencoba untuk
menguraikan analisa al-Kindi dalam rangka untuk menemukan titik temu antara
keduanya.
Biografi
al-Kindi (Kufah, 185
H/801 M – Baghdad, 256 H/869 M) Beliau adalah seorang filosof besar pertama Arab dan
Islam. Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishak bin Sabah bin Imran
bin Ismail bin Muhammad bin al-Asy’ats bin Qais al-Kindi. Ia berasal dari suku
Kindah dari negeri Yaman. Ayahnya bernama Ishak bin Sabah yang pada waktu
pemerintahan al-Mahdi dan Harun al-Rasyid pernah menjabat sebagai gubernur
Kufah.
Al-Kindi
tinggal di kota Kufah, Iraq, pada waktu itu tampil sebagai pusat kebudayaan
Islam. Di kota ini al-Kindi mempelajari tata bahasa Arab, kesusteraan, ilmu
hitung, dan menghafal al- Qur’an. Kota Kufah yang pesat kemajuan dan ilmu
pengetahuannya telah memberikan rangsangan kepadanya untuk mempelajari ilmu
pengetahuan dan filsafat. Tak lama di Kufah, al-Kindi kemudian berpindah ke
Baghdad yang kala itu menjadi ibu kota kekhalifahan Bani Abbas dan pusat
keilmuan.
Bakat
keilmuan al-Kindi semakin berkembang, karena di situlah al-Kindi mendapat
sokongan dari tiga khalifah Bani abbas, yakni al-Makmun, al-Muktashim, dan al-
Wasiq. Ketiga khalifah ini mendukung total kegiatan belajar mengajar serta kegiatan ilmiah, filosofis dan kesusasteraan pada masa itu.
Wasiq. Ketiga khalifah ini mendukung total kegiatan belajar mengajar serta kegiatan ilmiah, filosofis dan kesusasteraan pada masa itu.
Sebagai
perintis filsafat murni dalam dunia Islam, al-Kindi memandang filsafat sebagai
ilmu pengetahuan mulia, yaitu ilmu pengetahuan mengenai sebab dan realitas
Ilahi yang pertama dan merupakan sebab dari semua realitas lainnya. Ia
melukiskan filsafat sebagai ilmu dari segala ilmu dan kearifan dari segala
kearifan. Filsafat bertujuan untuk memperkuat kedudukan dan eksistensi agama.
Hubungan
Antara
Filsafat Dan Agama
Seperti yang
telah diuraikan diatas, bahwa salah satu fungsi utama filasafat adalah mencari
kebenaran dengan berdasarkan nalar atau akal manusia, sedangkan agama adalah
sebuah kebenaran yang berdasarkan wahyu Tuhan. Pertemuan antara keduanya
sangatlah rumit untuk diwujudkan. Dalam hal ini, al-Kindi melakukan pendekatan
terhadap dua subjek tersebut—yakni nalar dan wahyu—dengan dua tingkatan.
Pertama, didasarkan atas kesamaan tujuan antara filsafat dan agama dan yang
kedua, secara epistemologis.
Dalam
tingkatan pertama, sebelum ia membentangkan pandangannya, lepas dari adanya kesamaan tujuan-tujuan antara agama
dan filsafat, al-Kindi mempertahankan
perlunya filsafat dan dapat disesuaikannya dengan agama. Uraian George N.
Atiyeh, di dalam bukunya ”Al- Kindi Tokoh Filosof Muslim,” menampakkan
kepiawaian al-Kindi dalam menghadapi serangan orang-orang yang fanatik dengan
agama dan penentang kegiatan filosofis macam apapun juga, ia menyatakan:
“Filsafat adalah suatu kebutuhan, bukan suatu kemewahan. Ia mengatakan kepada orang-orang yang fanatik tersebut, bahwa mereka harus menyatakan, berfilsafat itu perlu atau tidak perlu. Jika perlu, mereka harus memberikan alasan-alasan dan argumen- argumen untuk membuktikannya. Padahal dengan memberikan alasan-alasan dan argumen- argumen tersebut, mereka pada dasarnya telah berfilsafat.
“Filsafat adalah suatu kebutuhan, bukan suatu kemewahan. Ia mengatakan kepada orang-orang yang fanatik tersebut, bahwa mereka harus menyatakan, berfilsafat itu perlu atau tidak perlu. Jika perlu, mereka harus memberikan alasan-alasan dan argumen- argumen untuk membuktikannya. Padahal dengan memberikan alasan-alasan dan argumen- argumen tersebut, mereka pada dasarnya telah berfilsafat.
Oleh karena
itu filsafat adalah perlu dalam kedua hal itu.” Pembelaan yang dikemukakan al- Kindi
tersebut mempunyai arti yang sangat penting, tidak hanya karena dilakukan dalam
menghadapi tantangan agama, tetapi juga diungkapkan kepada kita, bahwa al-Kindi
tidak bermaksud untuk merongrong wahyu dengannya, akan tetapi sebaliknya,
tujuan utamanya adalah untuk memberikan tempat bagi konsep-konsep keagamaan,
diatas apa yang ia anggap merupakan landasan- landasan yang lebih kokoh dan
benar, penggunaan bukti-bukti yang demonstratif.
Argumen utama yang digunakannya untuk mempertahankan filsafat adalah dengan memberikan suatu asumsi bahwa filsafat dan agama mempunyai tujuan-tujuan yang sama, yaitu pengetahuan tentang ke-esaan Tuhan dan pengejaran kebajikan. Ia menguatkan hal ini dengan mengatakan, bahwa filsafat mencakup ”teologi, ilmu pengetahuan ke-esaan Tuhan, ilmu etika, dan ilmu yang berguna
bagi manusia untuk menjalankan kebaikan dan mencegah keburukan” diantara cabang- cabangnya.
Argumen utama yang digunakannya untuk mempertahankan filsafat adalah dengan memberikan suatu asumsi bahwa filsafat dan agama mempunyai tujuan-tujuan yang sama, yaitu pengetahuan tentang ke-esaan Tuhan dan pengejaran kebajikan. Ia menguatkan hal ini dengan mengatakan, bahwa filsafat mencakup ”teologi, ilmu pengetahuan ke-esaan Tuhan, ilmu etika, dan ilmu yang berguna
bagi manusia untuk menjalankan kebaikan dan mencegah keburukan” diantara cabang- cabangnya.
Lebih lanjut
al-Kindi menyatakan bahwa agama melakukan hal yang sama. Substansi semua amanat
kenabian yang sebenarnya hanyalah untuk mengukuhkan ke-Ilahian Tuhan yang unik,
dan memerintahkan kepada kita untuk memilih dan mengejar kebajikan-kebajikan
yang paling diridlai di mata Tuhan. Dengan kata lain, al-Kindi melihat bahwa
pada tingkat teoritis agama dan filsafat menggarap suatu masalah yang sama, ke-
esaan Tuhan. Juga pada tingkat praktis, keduanya mempunyai tujuan-tujuan yang
tidak berbeda, yaitu mendorong manusia untuk mencapai kehidupan moral yang
lebih tinggi. Oleh karena itu pada kedua tingkat tersebut pemikiran al-Kindi telah
memperjelas kenyataan, bahwa tidak ada perbedaan esensial antara agama dan
filsafat, oleh karena keduanya mengarah kepada hal yang sama. Disamping itu,
dimasukkannya teologi di dalam filsafat oleh al-kindi, menghadapkan kita kepada
suatu masalah. Jika tujuan utama
filsafat untuk memperkuat kedudukan agama, maka filsafat hendaknya menjadi pembantu teologi bukan sebaliknya.
filsafat untuk memperkuat kedudukan agama, maka filsafat hendaknya menjadi pembantu teologi bukan sebaliknya.
Pada tingkat
lainnya, masalah yang timbul dari hubungan yang ditempatkan oleh al-Kindi,
antara filsafat dengan agama adalah bersifat epistemologis.
Sekarang, jika filsafat dan agama mengarah kepada hal yang sama,
maka apakah itu berarti bahwa filsafat setarap dengan agama. Kalau sampai pada penentuan soal pengetahuan yang lebih mendasar pengetahuan mana yang lebih pasti, yang rasional atau yang kenabian?
Sekarang, jika filsafat dan agama mengarah kepada hal yang sama,
maka apakah itu berarti bahwa filsafat setarap dengan agama. Kalau sampai pada penentuan soal pengetahuan yang lebih mendasar pengetahuan mana yang lebih pasti, yang rasional atau yang kenabian?
Al-Kindi
tidak menentukan pendirian yang konsisten mengenai masalah ini. Di satu
tulisannya, ia mempertahankan kepastian yang sama bagi pengetahuan rasional dan
pengetahuan kenabian. Sedangkan di dalam tulisan- tulisannya mengenai psikologi,
ia memasukkan pengetahuan kenabian di dalam pengetahuan rasional. Pada
tulisannya yang lain lagi ia menyatakan bahwa pengetahuan rasional manusia
lebih rendah daripada pengetahuan kenabian.
Kesimpulan Menurut al-Kindi, perbedaan-
perbedaan antara filsafat dan agama, bukanlah perbedaan yang esensial dan tidak
menutup kemungkinan untuk mempertemukan keduanya. Dengan menggunakan pendekatan
kesamaan tujuan dan epistemologi, dapat kita ketahui akan adanya sebuah
hubungan yang erat antara filsafat dan agama. Lebih lanjut, dari uraian-uraian di
atas dapat kita paparkan argumen-argumen al-Kindi dalam rangka mempertemukan
antara filsafat dan agama ke dalam tiga poin, yaitu:
1. Bahwa ilmu
agama merupakan bagian dari ilmu filsafat.
2. Bahwa antara
wahyu dan kebenaran filsafat saling bersesuaian.
3. Bahwa
menuntut ilmu secara logika juga diperintahkan dalam agama.
Akhirnya,
sebagai penutup, filsafat dan agama tidaklah bisa saling dipertentangkan,
karena keduanya memberikan informasi tentang kebenaran