Jumat, 18 April 2014

Aktualisasi Tradisi Islam Nusantara


Sebuah Refleksi oleh Reza Ahmad Zahid

Menarik sekali apa yang telah disampaikan oleh KH. Said Aqil Islam dalam acara pengkaderan ulama yang dimotori oleh PP LAKPESDAM NU di Wisma PKBI Jakarta Selatan. Ceramah yang sangat mendoktrin para ulama muda ini mendapatkan appresiasi yang begitu meriah, lebih-lebih ketika beliau mengeluarkan joke yang kental dengan style ceramah kyai NU. Dalam sebuah maqolah dikatakan: 'berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar akalnya', mungkin sangat tepat sekali metode yang disampaikan oleh kyai Said kepada peserta short course sehingga apa yang dia sampaikan benar-benar dapat dipaham secara maksimal.

Beberapa statement kyai Said yang dapat menggugah semangat kita adalah ajakan untuk menkontekstualisasikan tradisi NU ke dunia nyata seperti tradisi pemaknaan kitab kuning dengan bahasa jawa 'gandul', dan pemaknaan istilah kitab-kitab fikih. Ketika memahami kitab kuning sebaiknya tidak dimaknani secara tekstual melainkan kita harus mengkontekstualisasikan istilah tersebut, seperti 'hiwalah' bukan dimaknani lagi dengan 'ligeran' melainkan dengan Letter of Credit (LC), 'Dloman' dengan Bank Garansi (BG), Syirkah dengan Sharing of Profit, dan lain sebagainya. Dan tidak hanya dimaknani saja melainkan juga diimplementasikan dalam dunia nyata. Metode pemaknanan kitab kuning dengan makna pegon adalah sebuah tradisi dan budaya pesantren yang telah diwariskan secara turun menurun. Tradisi ini tidak boleh hilang. Walaupun kyai Said menyarankan untuk tetap menggunakan metode ini bagi pemula, akan tetapi kita harus memiliki satu formula untuk mempertahankan tradisi ini. Dalam penilaian saya, ada beberapa hal yang harus kita lakukan untuk menyikapi tantangan kitab kuning di era sekarang; metode pembelajaran kitab kuning bagi pemula, pemahaman kajian dan teori didalam kitab kuning, praktek atau implementasi dan aktualisasi. Dengan melakukan empat hal tersebut mungkin eksistensi kitab kuning akan bertambah kuat dan terhormat.

Kitab kuning sangat identik dengan pesantren, sedangkan kyai adalah komponen yang tidak bisa terpisahkan dari pesantren. Kesimpulan yang dapat kita ambil adalah seorang kyai tidak dapat terpisahkan dari kitab kuning. Sedangkan yang jadi permasalahan adalah: kepiawaian seorang kyai dalam memahami kitab kuning dan berkreasi dalam pengembangan kitab kuning. Di Indonesia memang memiliki iklim keilmuan yang unik, dimana seorang kyai tidak hanya bertugas sebagai 'figured person' yang hanya berfatwa, berceramah, berpidato dari satu masjid ke masjid yang lainnya. Seorang kyai haruslah lebur berinteraksi dengan masyarakat karena dia adalah tokoh masyarakat yang dinobatkan dengan sebutan 'kyai' yang artinya dalam bahasa jawa 'iki ae' (ini saja). Maka dari itu seorang kyai harus benar-benar memiliki jiwa semangat pengayoman kepada masyarakatnya seperti yang disampaikan dalam sebuah maqolah imam ad daruqutni:
 همة العلماء الرعاية

Bahkan imam Ali bin Abi Tholib RA, mengingatkan kepada kita bahwa:
الفقيه الحقيقي من يزوج بين الحق والواقع

Seorang ahli fikih yang hakiki adalah mereka yang mampu mengkombinasikan antara kebenaran dan kenyataan

Beberapa hal diatas senada dengan inti materi yang disebut oleh kyai said bahwa seorang kyai atau ulama haruslah mengayomi dua tugas besar yakni التفقه فى الدين dan الإنذار فى قومهم.


April 18, 2014. Wisma PKBI, Jaksel