Abstrak
Tulisan ini
mengkaji tentang konsep Pendidikan Karakter. Konsep ini masih menarik dikaji
dan diketengahkan lagi karena kendatipun ia telah lama dicetuskan dan diserukan
oleh Pemerintah untuk diimplementasikan di seluruh satuan pendidikan, namun
pada realitanya masih banyak bermunculan fenomena-fenomena yang bertolak
belakang dengan nilai-nilai yang diperjuangkan dalam Pendidikan Karakter.
Konsep
Pendidikan Karakter yang diupayakan oleh Pemerintah Indonesia, menurut hemat
penulis, sudah sangat ideal. Namun, nampaknya, pada realitanya, masih bersifat
sangat teoritis. Padahal, suatu karakter tidak bias dibentuk hanya dengan
teori, tetapi harus turun pada praksis. Selain itu, konsep ini juga tidak akan
berjalan dan menghasilkan hasil yang sempurna jika tidak ada kerjasama yang
baik antara sekolah, keluarga, lingkungan/ masyarakat, dan juga pemerintah.
Key Words: Pendidikan
Karakter, Pemerintah, Akhlak
Bila kita menyaksikan persaingan antar
lembaga pendidikan di Indonesia seakan-akan tidak ada bedanya dengan persaingan
bisnis. Bagaimana tidak, gedung mewah serta fasilitas wah sudah menjadi sasaran
empuk para orang tua untuk menyekolahkan anaknya di tempat tersebut. Ironisnya,
lembaga pendidikan yang hanya bermodal pas-pasan serta berfasilitas ala
kadarnya selalu mengalami keterpurukan yang istiqomah dan berkelanjutan.
Demikian juga para calon pelajar selalu mengedepankan penilaian tentang
bagaimana gedungnya, bagaimana tamannya, bagaimana fasilitasnya, dan bahkan
bagaimana para pelajarnya tentang tingkat ekonominya. Selain itu, para pelajar
juga selalu mengedepankan pertanyaan; bagaimana nanti setelah keluar dari
lembaga ini? Apakah saya langsung mendapatkan pekerjaan atau tidak?
Gambaran diatas sangatlah wajar dan sekali
sangat wajar untuk menjadi pertimbangan dunia pendidikan di sebuah negara.
Pendidikan maju berarti fasilitas serta sarana dan prasarana lembaga pendidikan
haruslah maju pula. Pendidikan yang nyaman berarti fasilitas nyaman serta
berani menjanjikan output yang nyaman
pula bagi para pelajarnya dan alumnusnya. Adapun yang tidak wajar adalah
mengedepankan fasilitas akan tetapi meninggalkan kualitas pendidikan pada
lembaga pendidikan. Sangat tidak wajar ketika sebuah lembaga hanya memajukan
fasilitas atau sarana prasarana lembaga akan tetapi tidak memajukan kualitas
pengajar, staf/karyawan dan seluruh fungsionaris yang terlibat dalam civitas
akademika sebuah lembaga pendidikan. Demikian juga sebagai pelajar sangat tidak
wajar jika hanya mengedepankan rasa nyaman ketika berada di kampus akan tetapi
tidak memikirkan keseriusan dalam belajar. Sangat tidak wajar ketika seorang
pelajar hanya memikirkan perasaan enjoy
di kampus tapi tidak berpikir untuk ke-enjoy-an
masa depannya.
Bila
kita remehkan kandungan paragrap kedua ini, maka yang akan terjadi adalah
menyebarnya virus kapitalisme hedonistik dalam dunia pendidikan Indonesia.
Kapitalisme dalam dunia pendidikan sebenarnya adalah sikap pemanjaan terhadap
pelajar. Sedikit demi sedikit maindset mereka akan berubah. Mereka akan
selalu mementingkan packaging
daripada content, mereka akan
mengutamakan kuantitas daripada kualitas dan yang lebih parah lagi ketika
mereka lebih mengedepankan instant daripada proses.
Entah
apa yang harus kita katakan ketika melihat tingkah laku orang-orang yang
mengatakan dirinya sebagai orang yang terpelajar. Diantara contoh nyata adalah
mereka menyebut dirinya sebagai hamba Tuhan akan tetapi mereka tidak
menjalankan nilai-nilai yang ditetapkan oleh Tuhannya. Mereka tahu bahwa
dirinya adalah manusia akan tetapi mereka berkelakuan tidak seperti tingkah
laku manusia. Mereka mengatakan dirinya manusia tapi tidak bisa memanusiakan
manusia. Mereka memiliki jiwa dan raga tapi ironisnya mereka tidak mengetahui
jati dirinya. Sungguh naif nasib negara ini, bagaimana mungkin dia akan
mengetahui jati diri bangsa dan negara bila bangsanya tidak mengetahui jati
dirinya masing-masing.
Entah
apa yang hilang dari bangsa ini ketika kita melihat pola komunikasi dan
interaksi sosial bangsa ini. Tidak sedikit dari generasi bangsa telah melupakan
pola-pola sosial yang telah dibangun oleh para leluhur mereka. Ada pola-pola
baru yang hadir di tengah generasi bangsa. Mereka merasa kesulitan untuk membedakan
mana yang positif dan mana yang negative, ketika mereka bergaul dengan sahabat
atau masyarakat di sekelilingnya. Dalam hal komunikasi, mereka memilki pola
yang baru ketika mereka berkomunikasi dengan keluarga dan masyarakat. Hal ini
tampak dari tidak adanya perbedaan dalam komunikasi, mana orang tua dan mana
teman, mana saudara/i dan mana pacar.
Entah,
ada apa dengan moral generasi bangsa ini. Mereka lupa dengan sila pertama dan
sila terakhir dalam ideologi bangsa ini yakni Pancasila. Tingkah laku yang
tidak mencerminkan manusia yang berketuhanan dapat kita saksikan setiap hari
disekitar kita. Tingkah laku yang tidak mencerminkan akan manusia yang beradab
dan bermoral menjadi tontonan kita setiap hari. Padahal, sejarah bangsa ini
membuktikan bahwa mereka adalah bangsa yang bermartabat tinggi karena moralitas
dan peradaban yang mereka miliki. Bangsa ini telah lama sejak sebelum
dilahirkan negara ini telah menjunjung tinggi akan agama.
Entah
bagaimana nasib harkat dan martabat bangsa ini, kita adalah bangsa yang besar,
negara yang luas, kaya dengan sumber daya alam yang melimpah dari ujung sampai
ke ujung negeri ini. Akan tetapi kenapa kita tidak bisa menguasai dunia dari
berbagai aspek, aspek ekonomi, politik, pendidikan, teknologi, dan lain
sebagainya.
Hal-hal
tersebut diatas adalah sebagian kecil dari contoh-contoh perubahan karakter
bangsa. Tentu saja sudah menjadi sebuah keharusan bagi kaum akademisi dan kaum
terpelajar untuk mengevaluasi kejadian disekitar dan menemukan solusi agar
bangsa ini tidak semakin terpuruk dalam karakter yang dapat membunuh karakter
sejati bangsa ini. Pendidikan Karakter adalah solusi yang ditawarkan oleh
pemerintah untuk mengatasi konteks disorientasi bangsa ini.
Pendidikan
Karakter
Secara umum, Pendidikan Karakter memiliki grand design sebuah proses pembudayaan
dan pemberdayaan nilai-nilai luhur dalam lingkungan satuan pendidikan,
lingkungan keluarga, dan lingkungan masyarakat (Koentjaraningrat,2002).[†]
Proses yang dikemukakan ini setidaknya searah dengan definisi karakter itu
sendiri. Secara bahasa, kata karakter berasal dari bahasa latin 'character', yang dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan,
budi pekerti, kepribadian atau akhlak yang membedakan seseorang dengan yang
lain (Depdiknas, 2008). Sedangkan secara istilah, masih menurut KBBI, karakter diartikan
sebagai sifat manusia pada umumnya dimana manusia mempunyai banyak sifat yang
tergantung dari faktor kehidupannya sendiri (Depdiknas, 2008). Lebih lengkapnya
lagi, Azimabadi Badr dalam Etiquettes of Islamic Life mendefinisikan
karakter berikut:
'karakter
merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan yang maha Esa,
diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran,
sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum,
tata krama, budaya dan adat istiadat.' (Azimabadi Badr, 2000).
Dengan dasar ini, maka seseorang bias
dikatakan berkarakter jika orang tersebut memiliki watak, tabiat, sifat
kejiwaan, budi pakerti, kepribadian, atau akhlak, baik itu yang berhubungan
dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan maupun kebangsaan, dan
kesemuanya itu bersifat khas. Maksudnya, hal-hal itu sudah melekat pada diri
orang tersebut dan sudah menjadi ciri khas dirinya. Ciri khas ini bisa ia dapat
melalui internalisasi dari sekitarnya, seperti keluarga, lingkungan, adat
kebudayaan, sekolahan, maupun ajaran agama, dan juga dari bawaan dari lahirnya
(Doni Koesoema, 2007).
Disamping itu semua, pendidikan sendiri
berarti sebuah usaha yang dilakukan oleh seseorang/ kelompok/
masyarakat/ lembaga untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan potensi –
potensi yang dimilikinya (YB. Mangunwijaya, 2005). Dengan
demikian, maksud dari Pendidikan Karakter adalah upaya sadar seseorang/
kelompok/ masyarakat/ lembaga untuk menanamkan nilai-nilai luhur tersebut
kepada segenap anak didik hingga nilai-nilai tersebut melekat dan menjadi
karakter khas atau watak kebribadian mereka. Hal ini diharapkan anak didik
mampu mengimplementasikan nilai-nilai luhur tersebut dalam kehidupan mereka
sehari hari, baik kepada Tuhan, dirinya sendiri, sesama manusia, lingkungan,
maupun bangsa.
Karakter yang Hendak diInternalisasikan
Grand design yang ditawarkan oleh Pendidikan Karakter
ini sebenarnya berdasarkan pada nilai-nilai luhur dari teori-teori pendidikan,
psikologi pendidikan, nilai-nilai sosial budaya, ajaran agama, Pancasila, UUD
1945, dan UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta
pengalaman terbaik dan praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari (Kopertais IV,
2012). Dengan kata lain, karakter atau nilai-nilai luhur yang akan
diinternalisasikan kepada anak didik dalam proses pendidikan adalah nilai-nilai
luhur tersebut.
Namun, penjelasan tersebut masih bersifat
sangat abstrak. Oleh karena itu, untuk mempermudah implementasi, Kementerian
Pendidikan Nasional melalui Badan Penelitian dan Pengembangan serta Pusat
Kurikulum dan Perbukuan membuat sebuah buku panduan yang di dalamnya dijelaskan
secara rinci nilai-nilai luhur yang akan diinternalisasikan. Nilai-nilai
tersebut diidentifikasi terdapat 18 nilai, yakni: religius, jujur, toleransi,
disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat
kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/ komunikatif,
cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung
jawab.
Lebih lanjut, dalam buku pedoman tersebut
dijelaskan bahwa rumusan 18 nilai itu tidak semuanya harus diaplikasikan oleh
suatu satuan pendidikan. Namun, setiap satuan pendidikan dapat menentukan
prioritas pengembangannya dengan dasar melanjutkan nilai-nilai prakondisi yang
telah lama dikembangkan (Kemendiknas, 2011).
Setiap satuan pendidikan, sebetulnya, jauh
sebelum program pendidikan karakter dicetuskan, selama ini sudah mengembangkan
dan melaksanakan nilai-nilai pembentuk karakter melalui program operasional
satuan pendidikan. Inilah yang disebut dengan prakondisi pendidikan karakter,
dan setiap satuan pendidikan memiliki prioritas nilai yang berbeda-beda. Oleh
karena itu, rumusan 18 nilai tersebut bisa dipilih dan dipilah sesuai situasi
dan nilai prakondisi yang telah lama dikembangkan. Dengan demikian, dalam
implementasinya dimungkinkan terdapat perbedaan mengenai jenis nilai karakter yang
dikembangkan antara satu sekolah dan atau daerah yang satu dengan lainnya.
Proses Implementasi
Proses
implementasi pendidikan karakter didasarkan pada totalitas psikologis anak
didik dan fungsi totalitas sosiokultural pada konteks interaksi. Totalitas psikologis
mencakup seluruh potensi anak didik, baik kognitif, afektif, maupun
psikomotorik. Sedangkan fungsi totalitas sosiokultural mencakup semua interaksi
anak didik, baik dalam keluarga, satuan pendidikan maupun masyarakat.
Pendasaran ini dilakukan karena pada hakekatnya perilaku seseorang yang
berkarakter merupakan implementasi dari kedua fungsi totalitas tersebut (Kemendiknas, 2011).
Konfigurasi
karakter dalam konteks totalitas psikologis dan sosiokultural dapat
dikelompokkan menjadi empat, yaitu: 1) olah pikir; 2) olah hati; 3) olah raga;
dan 4) olah rasa dan karsa. Perlu diketengahkan bahwa masing-masing komponen ini
secara konseptual merupakan gugus yang di dalamnya terkandung sejumlah nilai
luhur. Perinciannya adalah sebagaimana berikut:
1. Olah Pikir
Komponen
ini mengandung nilai-nilai luhur seperti:
cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir terbuka,
produktif, berorientasi Iptek, dan reflektif.
2. Olah Hati
Komponen
ini mengandung nilai-nilai luhur seperti: beriman dan bertakwa, jujur, amanah,
adil, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah,
rela berkorban, dan berjiwa patriotic.
3. Olah Raga
Komponen
ini mengandung nilai-nilai luhur seperti: bersih dan sehat, disiplin, sportif,
tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif,
kompetitif, ceria, dan gigih.
4. Olah Rasa dan Karsa
Komponen ini mengandung nilai-nilai
luhur seperti: ramah, saling menghargai, toleran, peduli, suka menolong, gotong
royong, nasionalis, kosmopolit, mengutamakan kepentingan umum, bangga
menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos
kerja. (Kemendiknas, 2011).
Keempat
hal ini berproses secara holistik dan koheren. Dengan kata lain masing-masing
dari keempat komponen tersebut memiliki saling keterkaitan dan saling
melengkapi, tidak berjalan sendiri-sendiri.
Kemudian,
terkait strategi implementasi di satuan pendidikan, Kemendiknas memberikan
panduan langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, sosialisasi kepada stakeholders
yang meliputi Komite sekolah, masyarakat, dan lembaga-lembaga; Kedua,
mengembangan kurikulum yang berbasis pendidikan karakter.
Ketiga,
kegiatan
pembelajaran. Guna pengembangan karakter anak didik kegiatan pembelajaran dapat
menggunakan pendekatan belajar aktif seperti pendekatan belajar kontekstual,
pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis
proyek, pembelajaran pelayanan, pembelajaran berbasis kerja, dan ICARE (Introduction,
Connection, Application, Reflection, Extension).
Keempat,
Pengembangan Budaya Sekolah dan Pusat Kegiatan Belajar. Langkah ini meliputi:
1) kegiatan rutin, yaitu kegiatan yang dilakukan anak didik secara
terus-menerus dan konsisten setiap saat, misalnya Upacara hari senin dan
berdo’a sebelum dan sesudah belajar; 2) kegiatan spontan, yaitu kegiatan yang
dilakukan anak didik secara spontan pada saat itu juga, misalnya mengumpulkan
sumbangan untuk temennya yang sakit atau
ada bencana; 3) keteladanan, yaitu guru, tenaga kependidikan dan anak
didik harus bersikap memberi tauladan bagi yang lain; 4) pengondisian, yaitu
menciptakan kondisi yang mendukung keterlaksanaan pendidikan karakter, misalnya
kebersihan badan dan pakaian, toilet, tempat sampah dan lain-lain; 5) kegiatan
ko-kurikuler atau ekstrakurikuler. Kegiatan ini bias dijadikan media
internalisasi nilai-nilai pendidikan karakter dengan tidak disadari oleh anak
didik; dan 6) kegiatan keseharian di rumah dan di masyarakat. Hal ini dapat
diwujudkan dengan, misalnya, sekolah membuat angket berkenaan nilai yang
dikembangkan di sekolah dengan responden keluarga dan lingkungan sekitar. Ini
ditujukan sepaya tercipta keselarasan antara karakter yang dikembangkan di
sekolah dengan pembiasaan di rumah dan masyarakat. (Kemendiknas, 2011).
Seandainya
waktu wajib belajar tidak cukup, satuan pendidikan dapat membuat kebijakan
penambahan alokasi waktu. Misalnya, jika masuk KBM pukul 07.00 Wib, anak didik
bias disuruh hadir sebelum itu dan diisi, misalnya, membaca kitab suci
bersama-sama, dan/ atau hal ini dilakukan setelah selesai KBM.
Jika
semua langkah atau proses implementasi pendidikan karakter tersebut telah
berjalan, maka langkah terakhir yang harus dilakukan oleh setiap satuan
pendidikan adalah mengadakan evaluasi keberhasilan. Bagaimana hasil yang telah
tercapai selama ini, apakah terdapat perubahan lebih baik dari keadaan
sebelumnya, dan lain-lain. (Kemendiknas, 2011).
Kesimpulan dan Saran
Uraian-uraian di atas bias ditarik
kesimpulan bahwa dalam mengatasi dekadensi karakter yang melanda rakyat
Indonesia, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan Nasional telah
berupaya untuk mengatasinya, yakni dengan mencetuskan serta mengaplikasikan konsep
yang sangat ideal, yaitu Pendidikan Karakter. Bahkan telah memberikan panduan
yang sangat rinci bagi seluruh komponen terkait.
Namun demikian, menurut penilaian penulis, usaha
'Pendidikan Karakter' tersebut mungkin dapat terealisasi secara optimal bila
mengindahkan beberapa usulan berikut:
1. Memprioritaskan transformasi nilai-nilai
agama dan moral sebelum masuk pembahasan pada character building. Hal tersebut
dikarenakan, nilai-nilai agama dan moral menjadi syarat mutlak yang harus
dimiliki oleh seorang yang 'berkarakter'.
2. Perlunya pendidikan karakter yang aplikatif
sehingga tidak hanya terkesan penyampaian teori. Hal tersebut dikarenakan
target utama dari Pendidikan Karakter adalah pengimplentasian atau
pengaplikasian materi Pendidikan Karakter tersebut.
3. Perlunya dukungan dari pemerintah tentang
pengadaan program-program yang mendukung untuk terwujudnya maksud serta tujuan
pendidikan karakter.
4. Dengan adanya pendidikan karakter seharusnya
kebijakan pemerintah tidak memberikan kesan hegemoni sepihak dalam dunia
pendidikan di Indonesia. Seperti dalam sikap pembedaan terhadap lembaga
pendidikan negeri dan swasta. Adanya Pendidikan Karakter semestinya membuka
lebih lebar pintu-pintu teori yang dilahirkan dan dikembangkan oleh seluruh
pihak tanpa terkecuali lembaga pendidikan swasta atau lembaga agama dan
keagamaan yang ada di Indonesia. Contoh; Lembaga Agama dan Keagamaan Pesantren
yang juga berjuang untuk menciptakan generasi bangsa yang berkarakter sesuai
dengan karakter yang ditanamkan oleh para leluhur bangsa ini.
5. Program Evaluasi yang berkelanjutan secara
merata, baik di lembaga pendidikan ataupun di lingkungan masyarakat.
Demikian begitu pentingnya Pendidikan
Karakter dalam rangka untuk mengembalikan jati diri bangsa serta mengarahkan
kehidupan orientasi kehidupan bangsa. Sebenarnya program pendidikan karakter
ini adalah tanggung jawab setiap individu bangsa Indonesia. Pada akhirnya, mari
kita buktikan bahwa kita adalah bangsa yang hebat dan bermartabat.
DAFTAR
PUSTAKA
Azimabadi, Badr, Etiquettes of Islam Life. Kuala Lumpur; Adam Publisher and
Distributors, 2000.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta;
Pusat Bahasa Depdiknas, 2008.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta; Gramedia, 2002.
Kopertais IV, Pendidikan Karakter, Surabaya. Kopertais IV Press, 2012
Kemendiknas, Panduan Pelaksanaan Pendidikan
Karakter. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan & Pusat kurikulum
dan Perbukuan, 2011.
Mangunwijaya, YB., Impian dari Yogyakarta. Ed. St. Sularto. Yogyakarta: Kompas, 2005.